Halaman

20 Juni 2007

Absurditas dan ketuhanan

Absurditas dan Ketuhanan

Sulung Lukman


Sudah begitu lama para dewa telah menghukum Sisifus untuk mendorong sebuah batu besar sampai kepuncak sebuah gunung; setelah sampai di puncak, batu itu akan jatuh ke bawah karena berat batu itu. Tidak dapat disangkal, ini adalah hukuman paling mengerikan dari pada pekerjaan yang paling tak berguna sekalipun. Sisifus mesti menghampiri batu yang menggelinding ke lembah itu untuk kemudian mendorongnya kembali menuju puncak. Begitu seterusnya dan seterusnya.

Mitologi Sisifus cukup tepat menggambarkan keadaan absurditas manusia dalam menjalani hidup. Tentang kenyataan bahwa hidup paradoks dengan kematian. Manusia akan sampai pada pertanyaan yang mendasar apakah hidup ini cukup bermakna untuk dijalani? Apakah arti perjuangan mendorong batu itu kepuncak gunung jika nantinya Sisifus mesti memulainya lagi dari awal?

Kemalangan itu digambarkan oleh Albert Camus sebagai kemalangan manusia. Absurditas bagi kehidupan manusia di muka bumi. Fakta bahwa kematian adalah nyata memicu ketakbahagiaan bagi manusia. Sementara harapan dan impian akan hidup yang lebih baik tidak menjamin datangnya kebahagiaan. Bahkan, mungkin semakin memperkeruh keadaan.

Kemalangan itu tidak saja menjadi beban masyarakat generasi sebelum kita, bahkan ia masih juga datang menghantui di malam-malam sepi abad millenium ini. Abad yang memungkinkan bagi manusia untuk mewujudkan mimpinya lewat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hantu absurditas itu masih juga datang dan memberi opsi bagi manusia: menjalani hidup sambil berharap-harap cemas bahwa nantinya hidup ini memang bermakna; memutuskan bahwa hidup ini sia-sia dan mencari jalan untuk bunuh diri; atau membiarkan saja dan tidak segera mengambil kesimpulan “ya” atau “tidak”. Dan ironisnya, mayoritas manusia menjatuhkan pilihan pada opsi yang ketigai).

Tragedi, ya tragedi manusia. Ketajaman nalar adalah pemicu segalanya. Penyakit yang menenggelamkan manusia pada lembah ketidakbahagiaannya. Sejak ia berakal budi, sejak manusia menyaksikan kematian, sejak itulah segalanya jadi runtuh. Kematian bukanlah permasalahan utama, namun ketidaktahuan terhadap kematian yang lebih menggelisahkan. Kita jadi terasing, tercerabut dari dunia. Ketajaman nalar tak menjanjikan apapun, selain kebohongan yang absurd.

Tragedi ini tentu bukan gambaran yang ingin dikemukakan oleh berbagai aliran agama atau kepercayaan. Adanya Tuhan adalah mutlak bagi agama sebagai jawaban atas penderitaan dan kesulitan hidup manusia. Tuhan menjadi jaminan bagi kebahagiaan manusia. Benarkah demikian?

Ternyata tidak bagi Nietzsche. Ia menolak tuhan, bahkan meneriakkannya dengan lantang: Tuhan telah mati! Kita telah membunuhnya. Requiem aeternam deo! Baginya adalah ketololan mempercayai ajaran-ajaran moral. Moral hanya akan membunuh kehendak untuk berkuasa. Kehendak, yang bagi Nietzsche, adalah potensi utama manusia, kekuatan untuk berkreasi dan mencipta. Tidak pada tempatnya bagi “manusia utama” untuk menyerah begitu saja pada pandangan moral, pengetahuan atau logika-logika yang rapuh.

Keberadaan Tuhan hanya akan membatasi energi-energi kehendak untuk berkuasa itu. Tuhan, bagi Nietzsche, merupakan pandangan dari orang-orang dekaden yang tidak pernah sanggup mengamini hidup, manusia-manusia putus asa yang dengan mudah menyerahkan segala ketakberdayaannya kepada Tuhan. Tuhan menjadi nilai absolut yang memberi jaminan bagi manusia sehingga seakan-akan hidup manusia begitu pasti, aman dan kelak bahagia. Karena itu, manusia harus bebas dari segala makna absolut yang menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan memberinya nilai, tanpa harus menciptakan tuhan-tuhan baru.ii) Hanya dengan segala kekuatannyalah manusia akan mendapatkan eksistensinya di muka bumi.

Nietzsche mengajak pembacanya mempercayai tentang kondisi realitas dunia yang chaos. Paradigma inilah kemudian yang mengantarkannya pada pandangan tentang nihilisme. Pandangan yang berarti runtuhnya nilai-nilai dan makna-makna tertinggi. Dan bagi Nietzsche, nihilisme tidak perlu ditolak, namun bukan berarti mengganti nilai-nilai yang runtuh itu dengan tuhan baru. Tak ada satupun yang benar, maka segalanya diperbolehkan. iii) Karena itu, bagi Nietzsche adalah keberanian untuk berkata “ya” pada dunia yang chaos dan nihil – yang tidak mengandung kebenaran mutlak atau tata dunia moral.

Berbeda dengan Nietzsche, seorang eksistensialis muslim asal Pakistan Muhammad Iqbal melihat manusia sebagai ego. Ego adalah realitas yang sangat jelas dan terang benderang. Ego dinilai oleh Iqbal sebagai poros dari seluruh amal dan kegiatan manusia. Tuhan, dikatakan Iqbal, adalah hakikat sebagai keseluruhan, dan hakikat sebagai keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual – dalam arti suatu individu dan suatu ego. Dianggap sebagai ego karena, seperti pribadi manusia, Dia adalah “suatu prinsip kesatuan yang mengorganisasi, suatu panduan yang terikat satu sama lain yang berpangkal pada fitrah kehidupan organisme-Nya untuk suatu tujuan konstruktif.iv)

Pandangan Iqbal ini berbeda dengan konsep para Panteis, yang memandang Tuhan sebagai realitas diluar pribadi, menganggap dunia fenomena (gejala-gejala) sebagai sesuatu yang tak berwujud dan tidak nyata. Sebagaimana beberapa faham sufisme yang dibangun atas asas wihdatul wujud juga dibangun dari asas Panteisme. Bagi Iqbal, pandangan yang berlandas pada faham ini mengisap tenaga-tenaga manusia, mendorongnya agar menjauhkan diri dari bergulat menghadapi tantangan dan kesukaran hidup, dan dihidupkan dalam dirinya perasaan dunia lain yang menjadikan manusia menikmati dan menghabiskan waktunya hanya untuk mengkhayalkan surga.v)

Lebih jauh Iqbal menerangkan bahwa ego pada hakekatnya sebagai sesuatu yang memberi tuntunan, bebas dan abadi. Ego bersifat memberi penghargaan dan menghargai dirinya sendiri dalam kegiatannya sendiri. Ego berkembang menjadi suatu wujud pribadi yang kuat dan penuh tujuan oleh cita-cita dan aspirasi-aspirasi yang menggambarkan suasana lingkungan. Karena perkembangan itu, egopun bergantung pada suatu hubungan yang diciptakannya dengan benda nyata: dunia, masyarakat dan kenyataan-kenyataan.

Dari sini jelaslah bagi Iqbal, bahwa ia menolak pandangan yang salah bahwa takdir adalah segalanya,- fatalis. Untuk memperkuat egonya, setiap pribadi mesti berhubungan dengan ego yang lain. Ego tidak dapat berkembang dalam keadaan yang terpencil. Ego manusia harus berjuang menghadapi lingkungan dan menaklukkannya. Dengan menaklukkan lingkungan ini, ego akan mendapati kemerdekaannya dan mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai Individu Paling Merdeka.vi)

Keabadian dan kemerdekaan individu, menjadi pandangan yang sama bagi Nietzsche ataupun Iqbal, walaupun keduanya menjadi berseberangan dalam memandang Tuhan. Namun terlepas dari kebenaran konsep keduanya, MM Syarif mengemukan bahwa manusia tidak dapat menafsirkan dunia yang terindera ini tanpa memakai istilah-istilah yang berasal dari pengalamannya sendiri. Bahaya cara pandang secara antropomorfis ini, menurut Syarif, juga menjebak Iqbal. Betapapun akhirnya Hakikat sebagai Keseluruhan selamanya akan tetap tringgal tersembunyi bagi pribadi terbatas, karena bagaimana mungkin suatu bagian dengan segala keterbatasannya dapat memahami keseluruhan yang jauh melampaui jangkauanya.

Lantas, apakah semua itu mampu menjelaskan kondisi absurditas manusia? Nampaknya hantu itu masih juga akan hadir di malam-malam sepi, mengganggu tidur nyenyak kita. Karena bangunan nalar yang demikian ketat dan hati-hati itu, masih saja dapat runtuh dan hancur.

Di sisi lain, masih banyak persepsi tentang Tuhan. Bahkan persepsi itu sengaja diciptakan sekadar untuk memperolok-olok persepsi yang lain. Yang kemudian penjelasannya mesti berdarah-darah dan penuh dendam kesumat. Bukankah fenomena itu juga absurd?

Dan dengan bijak Albert Camus berani mengungkapkan bahwa: Kita harus membayangkan Sisifus berbahagia. Sisifus telah mengajarkan tentang kesetiaan, tiap kali ia mendorong batu itu. Perjuangan menuju puncak itu cukup untuk mengisi hati seorang manusia.


***


i) Dapat dibaca pada Mite Sisifus Pergulatan dengan Absurditas, Albert Camus, Gramedia, 1999

ii) Diungkapkan oleh St. Sunardi dalam Nietzsche, LkiS, 1996. bahkan ia mencuplik salah satu aforisme Nietzsche yang berjudul “Dalam Horison Ketidakterbatasan (Im Horizont des Unendlichen)”

“Kita telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang kita – dan lagi, kita juga sudah menghanguskan daratan di belakang kita! Dan kini, hati-hatilah, kau kapal mungil! Samudera raya mengelilingimu: memang benar, dia tidak senantiasa mengaum, dan kadang-kadang dia tampak lembut bagai sutera, emas dan mimpi yang indah. Namun akan tiba waktunya, bila kau ingin tahu, bahwa dia itu tidak terbatas. Oh, burung yang malang yang merasa bebas dan kini menabrak dinding-dinding sarangnya! Ya, bilakau merasa rindu akan daratanmu yang seolah menawarkan kebebasan lebih banyak – dan tak ada daratan lagi.

iii) ibid, hal 32

iv) dijelaskan secara panjang lebar oleh M.M. Syarif dalam; Iqbal Tentang Tuhan dan Keindahan, Mizan, 1994, hal 37- 52

v) penolakan terhadap panteisme ini dijelaskan oleh S.A. Vahid, dalam Dimensi Manusia Menurut Iqbal,

vi) ibid, hal 32-33

Tentang takdir juga dijelaskan oleh, M Radhiudding Ash Shiddiqi, dalam Antologi yang sama, hal 63 – 83.





1 komentar:

KOMPAS.com - Nasional